google.com, pub-8930286523086770, DIRECT, f08c47fec0942fa0 MOTIVASI DALAM BERIBADAH - Motivasi_Diri
Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

MOTIVASI DALAM BERIBADAH

                             MOTIVASI DALAM BERIBADAH

(Oleh: Dr.H.Sukarmawan,M.Pd.)

Beribadah merupakan wujud pengabdian diri seorang hamba kepada Allah SWT. Beribadah adalah sebuah keniscayaan dalam kehidupan manusia. Hal ini selaras dengan perintah yang tertuang dalam Al-Qur’an bahwa manusia dan jin diciptakan untuk tujuan mengabdi kepada-Nya. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an Surat Az-Zariyat ayat 56 :

وَمَا خَلَقْتُ ٱلْجِنَّ وَٱلْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

Artinya: “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.”

Secara linguistik, kata Ibadah diambil dari kata Ta’bid yang artinya Tunduk. Imam Ibnu Taimiyah mendefinisikan kata ibadah sebagai berikut,”Ibadah adalah nama yang mencakup setiap hal yang dicintai Allah dan diridhoi-Nya, baik ucapan maupun perbuatan. Baik lahiriah maupun batiniah”.

Sesungguhnya ibadah merupakan wasilah atau penghubung antara Rabb (Allah SWT) dan Hamba-Nya. Ibadah merupakan wasilah atau jembatan penghubung untuk mendapatkan kasih sayang dan magfiroh dari Allah swt. Semakin kokoh jembatan tersebut, maka semakin melimpahlah karunia ramhat, ampunan dan kasih sayang dari Allah SWT kepadanya. Oleh karena itu, sudah seharusnya semangat ibadah kita dipupuk dan kita pelihara agar ibadah yang kita lakukan menjadi sebuah kenikmatan yang sulit untuk diungkapkan dengan kata-kata..

Orang yang merasakan nikmatnya iman, bisa merasakan kenikmatan dalam bermunajat dan ketaatan dalam beribadah kepada Allah SWT. Wajarlah kiranya jika Rasulullah selalu menunggu-nunggu waktu beribadah seperti seorang kehausan yang menanti datangnya air untuk melepas dahaga. Ketika masuk waktu salat, beliau bersabda kepada Bilal, ”Hai Bilal, hiburlah kami dengan shalat.” Dan tidak heran pula ketika beliau bersabda, ”dan jadikan shalat sebagai penyejuk hati.”

Hal yang patut kita ketahui selanjutnya adalah cara untuk memupuk semangat ibadah., Berikut ini beberapa caranya, antara lain sebagai berikut:

Pertama: Tetap dalam keikhlasan


Sesunguhnya ikhlas  hanya mengharap ridho Allah SWT semata. Seseorang yang ikhlas dalam beribadah tak akan pernah beribadah hanya sekedar tujuan duniawi. Hatinya hanya tertuju pada Allah dan tidak terkontaminasi oleh sikap riya, angkuh/ sombong, munafik dan iri hati atau hati yang dengki.

Kedua: Bersemangat atau Sungguh-sungguh (bermujahadah) dalam Ibadah

Mujahadah artinya kesungguhan dan keseriusan. Seseorang yang bermujahadah dalam beribadah akan selalu berusaha menyingkirkan segala hambatan dan rintanagn yang mengganggu kesungguhannya dalam beribadah. Tak jarang, amal ibadah seseorang akan bernilai sia-sia ketika ia lalai serta tidak memiliki semangat atau motivasi saat beribadah. Kesungguhan dalam beribadah akan mempersempit ruang gerak syetan sehingga tidak akan ada kesempatan syetan untuk menggoda dan menggelincirkan manusia kepada kesesatan dan kemaksiatan. Orang yang bermujahadah dalam beribadah akan diberikan petunjuk oleh Allah SWT,sebagaimana firman-Nya dalam QS. Al-Ankabut ayat 69:

وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا ۚ وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ

”Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh untuk (mencari keridhoan) kami, benar-benar akan Kami tunjukan kepada mereka jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah beserta orang yang berbuat kebajikan.” (QS. Al-‘Ankabut:69).

Ketiga: Selalu intropeksi diri

Seorang muslim yang selalu mengintrospeksi atau mengoreksi dirinya untuk melihat setiap amal yang sudah ia kerjakan maka akan selalu mempertimbangkan kehidupannya di masa yang akan datang. Ia selalu berpandangan jangan sampai dirinya melakukan kesalahan yang sama yang dahulu pernah ia lakukan/ kerjakan. Pada akhirnya, kesalahan yang pernah ia lakukan tak pernah ia ulang, amal kebaikan yang sekiranya kurang akan ditambah dengan amal-amal unggulan. Hal ini ia lakukan secara berkesinambungan dan konsisten (Istiqomah)

Ingatlah bahwa Allah SWT telah berfirman dalam QS. Al-Hasyr ayat 18:  

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

”Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah swt, dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Hasyr : 18 )

Keempat: Selalu Berdoa (Bermunajat kepada Allah SWT)

Dalam beribadah kita selalu membutuhkan dorongan atau motivasi yang kuat. Untuk menumbuhkan dan meningkatkan motivasi tentunya kita tidak bisa hanya mengandalkan kemampuan diri kita sendiri. Kita perlu berdoa/ bermunajat kepada Allah SWT berharap Allah SWT memberikan kekuatan kepada kita dalam beribadah. Sebagaiman Rasululullah SAW telah mencontohkan satu doa yang biasa beliau baca setiap selesai shalat yang berisi permohonan bantuan kepada Allah SWT agar sekiranya Allah SWT berikan kekuatan dalam beribadah.

“Ya Allah bantulah aku untuk senantiasa berdzikir kepada-Mu, senantiasa bersyukur kepada-Mu, dan senantiasa beribadah dengan baik kepada-Mu.”

Sesungguhnya kekuatan doa sangat luar biasa. Bahkan taqdir dapat berubah dengan kekuatan doa, sebagaimana sabda Rasulullah SAW,”Tiada sesuatu yang bisa menolak takdir selain doa, dan tidak ada yang bisa menambah umur kecuali amal kebajikan. Sesungguhnya seseorang diharamkan rejeki baginya disebabkan dosa yang diperbuatnya.” (HR. Tirmidzi dan Hakim)

Kelima: Memperbanyak Dzikir  

Jika iman sudah menyentuh relung hati seorang hamba niscaya  penghambaan diri kepada Allah SWT akan semakin meningkat. Tautan hati Sang hamba kepada Sang Kholiq akan semakin kuat.

Sungguh dzikir adalah daya ingat kepada Allah SWT yang terus menerus tertanam di dalam hati serta lisannya selalu basah menyebut asma-Nya. Amal ibadah dan tingkah lakunya pun selalu mencerminkan sosok hamba yang selalu merasa diawasi oleh Allah SWT (Muroqabatullah).

Keenam: Berada dalam lingkungan yang soleh

Sungguh lingkungan memegang peranan penting dalam pembentukan karakter manusia. Oleh karena itu, jika kita ingin mendapat hidayah Allah SWT, maka carilah lingkungan yang kondusif untuk senantiasa mendekatkan diri (Taqorrub) kepada Allah SWT dalam komunitas orang-orang Soleh. Bergaul dengan orang-orang yang soleh, tentunya dapat meminimalisasi diri kita dari perbuatan dosa dan memotivasi diri kita untuk rajin dalam beribadah.

Ibadah merupakan kebutuhan bagi diri manusia. Namun apakah yang sebenarnya mendorong/ memotivasi manusia untuk beribadah? Filsuf Muslim Ibnu Sina membagi motivasi beribadah menjadi tiga hal:.

Pertama, motivasi ala pedagang. Seseorang beribadah karena didorong oleh keuntungan timbal balik dari sesuatu yang ia keluarkan. Ia menunaikan shalat, puasa, zakat, bersedekah, menolong sesama, atau lainnya dengan penuh pengharapan bahwa balasan surga kelak ia dapat. Alasan seseorang rela berlapar-lapar puasa di alam fana ini adalah sebab di akhirat nanti ia bakal kenyang; bersusah payah bangun sepertiga malam untuk sholat tahajud sebab ia tahu ada kelezatan yang bakal diperoleh dari jerih payah itu. Segenap ibadah di dunia pun menjadi semacam investasi atau modal dan aktivitas perdagangan/ perniagaan, dengan kenikmatan surgawi sebagai keuntungan atau laba yang diharapkan. Logikanya, siapa yang berinvestasi maka akan menuai hasilnya. Siapa yang menanam, akan memanen hasilnya. Dalam Al-Qur’an di beberapa tempat Allah SWT telah mengabarkan bahwa siapa pun yang beriman dan berbuat baik akan mendapatkan surge sebagai balasannya.

Kedua adalah motivasi ala budak atau buruh. Kata kunci dari dorongan beribadah ini adalah ketakutan. Seorang hamba menjalankan ibadah kepada Allah SWT karena dibayang-bayangi adanya ancaman akan siksaan api neraka. Bagaikan mentalitas seorang buruh yang takut majikannya, ia menunaikan tugas dan kewajiban dalam rangka menghindari penderitaan di kehidupan hari. Orang dengan motivasi ini biasanya beribadah untuk sekadar lepas status sebagai hamba yang durhaka. Adzab-adzab yang dipaparkan dalam kitab suci Alquran menjadi pemicu dan pemacu kuat mengapa ia harus melakukan hal “ini” (Kewajiban yang harus dilaksanakan) dan menghindari hal “itu” (Larangan yang harus dihindari). Baginya manusia sudah terlanjur diciptakan dan kini manusia harus melaksanakan kewajiban-kewajibannya. Konsekuensi dari pelanggaran atas kewajiban tersebut sudah sangat jelas, yakni siksa api neraka yang sungguh mengerikan.

Ketiga adalah motivasi orang ‘arif (mengenal Allah). Bagi orang bermotivasi kriteria ketiga ini, beribadah adalah sebuah keniscayaan setelah menyaksikan betapa besarnya karunia yang Allah berikan kepada alam semesta ini; setelah menghayati kebijaksanaan dan kemahasempurnaan Allah kepada makhluk-makhluknya. Karena itu, yang menonjol dalam ibadah mereka adalah keikhlasan yang mendalam. Bukan kenikmatan surgawi yang ia buru. Bukan pula rasa khawatir atau ketakutan akan ditempatkan di neraka. Bahkan orang-orang seperti ini umumnya merasa tidak layak menerima ganjaran surgawi lantaran rasa fakirnya di hadapan keagungan Allah subhanahu wata’ala. Sebab yang paling penting bagi mereka adalah menunaikan ibadah sebagai sebuah keharusan, urusan ditempatkan di mana saja adalah hak prerogatif Allah. Allah memiliki kekuasaan penuh atas keputusan untuk hamba-Nya yang lemah atau dha’if. Tipe yang terakhir ini mengingatkan kita kepada kisah seorang ulama sufi kenamaan Fudhail ibn 'Iyadl. Dalam kitab Raudlatuz Zâhidîn ‘Abdul-Malik ‘Alî al-Kalib diceritakan, suatu hari ia berkata, "Seandainya saya diminta memilih antara dua hal, yakni dibangkitkan lalu dimasukkan surga atau tidak dibangkitkan sama sekali, saya memilih yang kedua." Fudhail malu. Ia merasa tak pantas menerima ganjaran pahala seandainya ia memang mendapatkannya. Tentu beliau bukan sedang ingkar terhadap surga dan kebahagiaan di dalamnya. Gejolak jiwanya lah yang mendorongnya bersikap semacam itu.

Kecintaan Fudlail yang memuncak kepada Tuhannya menghilangkan angan-angan akan pamrih apa pun. Kebaikan yang ia lakukan tak ada bandingnya dengan anugerah-Nya yang melimpah. Bahkan kesanggupannya berbuat baik sesungguhnya adalah secuil dari anugerah itu sendiri.

Suatu hari seorang laki-laki datang dan bertanya kepada Fudhail ibn ‘Iyâdl, “Wahai Abu Ali, kapan seseorang mencapai tingkat tertinggi cintanya kepada Allah ta'ala?" "Ketika bagimu sama saja: Allah memberi ataupun tidak. Saat itulah kau di puncak rasa cinta," jawab Fudhail. Sebagaimana manusia, surga dan neraka adalah makhluk. Fudhail berpandangan, Allah adalah hakikat tujuan hidup. Hal ini tercermin dalam tafsirnya terhadap kalimat “Innâ lillâhi wa innâ ilaihi râji‘ûn". Kita semua hamba Allah, dan kepada-Nya pula kita kembali. Kehambaan yang total membuahkan kesadaran bahwa diri ini tergadai hanya untuk memenuhi permintaan Sang Tuan. Tulus murni tanpa berharap imbalan sedikit pun

Posting Komentar untuk " MOTIVASI DALAM BERIBADAH"